Sariagri - Sariagri - Dengan garis pantai sepanjang 99.000 km, Indonesia adalah produsen rumput laut terbesar kedua di dunia, setelah Cina. Menurut FAO, tahun 2018 Indonesia memproduksi 9,3 juta ton rumput laut atau 29 persen dari total produksi global. Namun, meski jumlah produksi besar, nilai ekspor rumput laut Indonesia di bawah Korea Selatan yang produksinya jauh lebih rendah. Pada 2019, nilai ekspor rumput laut Indonesia hanya $218 juta, sedangkan Korea Selatan yang hanya menghasilkan 5,23 persen rumput laut dunia menghasilkan ekspor $278 juta. Apa penyebabnya? Melansir The Fish Site, hal ini terjadi karena Indonesia masih mengandalkan keunggulan komparatifnya (yaitu biaya produksi yang rendah) ketimbang keunggulan kompetitif (yaitu kualitas dan harga barang). Indonesia sebagian besar menjual rumput laut kering dan barang setengah jadi seperti hidrokoloid, sementara Korea Selatan mengolah rumput laut menjadi produk bernilai tinggi, termasuk makanan, pakan, pupuk, kosmetik, dan obat-obatan. Peternakan rumput laut sekarang juga dikenal karena jasa lingkungan dan ekosistemnya sementara rumput laut yang dipanen semakin banyak diubah menjadi produk ramah lingkungan seperti pengganti plastik dan bahan bakar nabati. Pandangan ahli Pontas Tambunan, Wakil Ketua Asosiasi Industri Rumput Laut Indonesia (Astruli), menjelaskan beberapa tantangan yang dihadapi sektor rumput laut Indonesia pada Seaweed Fest 2021 yang digelar Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) pada akhir tahun lalu. Pertama, kata dia, petani Indonesia tidak mendapatkan harga yang kompetitif untuk rumput laut mentah. Belakangan ini, harga rumput laut di tingkat petani hanya sekitar Rp 11.000/kg, tetapi, karena banyaknya mata rantai yang tidak perlu, ini telah meningkat menjadi Rp 31.000/kg pada saat pengolah membelinya. Hal ini membuat produksi produk turunan rumput laut menjadi lebih mahal dan kurang kompetitif dibandingkan dengan negara lain. Menurut Tambunan, kondisi ini sebenarnya bisa diatasi dengan penerapan internet of things (IoT) dan artificial intelligence (AI). Ini memungkinkan untuk mendeteksi perbedaan yang sangat tinggi antara harga pertanian dan apa yang diterima industri, melalui pengumpulan dan pemrosesan data real time. IoT dan AI juga memungkinkan untuk mengetahui data riil produksi rumput laut di lapangan. Meski pemerintah memperkirakan produksi rumput laut akan mencapai 11,5 juta ton pada 2021, tampaknya jumlah tersebut tidak tercapai. Menurut Tambunan produsen baru mencapai 40-60 persen dari kapasitas produksinya, menunjukkan adanya kesenjangan informasi. Selain karena keterbatasan sumber daya industri, hal ini juga disebabkan tidak banyaknya startup digital di sektor rumput laut. Karenanya, ia meminta pemerintah membantu menyediakan data yang real time yang akurat untuk memberikan kepastian industri atas harga riil dan volume pasokan rumput laut, yang dapat meningkatkan efisiensi produksi di tingkat industri. Kedua, menurut Tambunan, terlalu sedikit perusahaan rumput laut yang berusaha menghasilkan produk akhir yang bernilai lebih tinggi, sementara beberapa produk turunannya bahkan kurang kompetitif, karena proses produksi yang tidak efisien. Ketiga, Tambunan berpendapat, keamanan pangan dan ketertelusuran menjadi perhatian utama untuk produk pangan, termasuk rumput laut. Artinya, teknik budidaya dan pengolahan rumput laut harus memenuhi standar yang tinggi, misalnya dengan tidak menggunakan media budidaya yang berbahan plastik untuk menghindari kontaminasi mikroplastik. Tantangan keempat, menurut Tambunan, adalah perlunya peningkatan kualitas rumput laut. Hal ini dipengaruhi oleh metode budidaya dan kualitas benih. Selama ini benih yang digunakan petani berasal dari stok liar dan produsen mandiri, sehingga menghasilkan kualitas yang bervariasi.
Namun, pemerintah telah mengembangkan bibit melalui kultur jaringan untuk membantu kebutuhan pembudidaya. Ini bekerja sama dengan SEAMEO Biotrop, sebuah organisasi penelitian dan pendidikan untuk biologi tropis di Asia Tenggara. Sementara itu, untuk mendukung peningkatan daya saing, pemerintah juga menjadikan rumput laut sebagai salah satu komoditas prioritas, menciptakan ekosistem produksi yang mendukung melalui prakarsa Kampung Budidaya dan penyediaan benih bermutu dari enam laboratorium teknisnya. Berbeda dengan industri budidaya udang dan ikan, kemunculan startup di sektor rumput laut Indonesia masih jarang, apalagi dibandingkan dengan Eropa, Amerika Serikat, dan Australia.
Startup rumput laut di negara-negara tersebut menggunakan pemasaran yang menarik dengan memperhatikan sifat ramah lingkungan dari produk mereka. Strategi ini, menurut Tambunan, dapat ditiru dan dimodifikasi oleh para pemangku kepentingan di Indonesia, sehingga potensi rumput laut yang sangat besar dapat dioptimalkan. Indonesia memiliki lebih dari 550 spesies rumput laut dan keunggulan komparatif yang sangat besar. Jika dipercepat melalui keunggulan kompetitif, ini akan membawa manfaat ekonomi yang sangat besar bagi banyak petani kecil, ekonomi nasional dan lingkungan. Video:
http://dlvr.it/SM1mfg